Skip to content

Bali, Riwayatku Dulu

November 1, 2012

Hal paling sulit dalam setiap perjalanan adalah langkah pertama, begitu kata seorang biksu pengelana. Bagi saya, perjalanan paling menarik adalah ketika kita tak tahu kemana langkah kaki ini harus menuju..

Dan itu dimulai ketika bus kami tiba di terminal Denpasar, Bali, pada suatu malam di tahun 1999. Dari terminal Lebak Bulus, Jakarta, tujuan kami jelas: Pulau Dewata. Tapi setelah itu kami lupa kalau Bali begitu luas. Alhasil, setiba di Denpasar, kami semua gagap.

Oya, kami yang saya maksud di sini adalah 4 remaja yang baru naik kelas III SMA. Saya sendiri, Sapnis, Gaus, dan Uut. Tak seorang pun pernah ke Bali. Jadi, ini perjalanan nekat-nekatan. Isi dompet masing-masing pun terhitung cekak.

“Jadi kita ke mana?” tanya Gaus begitu mendarat di terminal Denpasar. Tak ada yang menjawab. Perjalanan dari terminal Lebak Bulus ke Denpasar hampir 20 jam. Selama itu tak terpikir tujuan selama di Bali. Ah, betapa tololnya!

Kami pun sepakat menuju Kuta. Berangkat dari terminal sekitar pukul 11 malam dan baru tiba di sana 4 jam kemudian. Sangat lama, karena kami menempuhnya dengan berjalan kaki!

Sampai di Kuta, kami sempat berfoto ria di “patung” gitar raksasa di depan Hardrock Cafe sebelum mencari losmen murah di sekitaran Seminyak, tak jauh dari Kuta. Per malamnya Rp 35 ribu. Ketika di losmen itulah kami baru sadar: ternyata roll film di kamera nggak muter!

Kesialan sebenarnya sudah membayangi sejak awal perjalanan. Dari terminal Lebak Bulus, kami naik bus Jakarta-Surabaya. Nama busnya Dahlia Indah. Di perjalanan kemudian kami baru tahu ternyata busnya tak seindah namanya.

Saya dan Uut duduk di bangku dekat pintu belakang. Jadi dekat sekali dengan roda belakang. “Kok kaki gue kayaknya dingin banget ya,” kata Uut di tengah perjalanan. Saya juga merasakan hal yang sama.

Ketika dicek.. Ya Tuhan! Ternyata lantai bus persis di bawah kaki kami ada yang bolong. Sehingga cipratan air hujan dari roda belakang meluncur mulus ke bagian bawah celana. Asem!

Di tengah perjalanan Cirebon – Semarang, muncul bau tak sedap. Benar-benar tak sedap sehingga kernet sampai angkat bicara. “Tulung yang berak diam-diam nanti dibersihkan waktu mampir di pom bensin, ya!”

Bus pun berhenti di pom bensin. Semua penumpang menunggu. Tapi tak seorang pun bangkit. Saya menyumpah dalam hati karena sudah sejak tadi menahan kencing. Tapi, jika saya bangun, seisi bus akan menuduh saya yang diam-diam buang hajat di celana. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya merasakan makna peribahasa bagai makan buah simalakama.

Kesialan berlanjut. Ketika tiba di sebuah terminal, kernet tiba-tiba menghampiri kami dan meminta kami turun. Katanya bus akan memutar balik karena penumpangnya hanya tinggal kami berempat.

Kalau tak salah ingat, masing-masing kami dikasih duit Rp 3 ribu. Katanya cukup untuk ongkos melanjutkan bus ke Surabaya. Kami turun, bus pun melaju. Samar saya membaca terminal baru kami: Nganjuk. Saat itu pukul 04.00 pagi.

Kami menunggu matahari di terminal. Sapnis mengeluarkan peralatan ajaibnya: kompor portable, parafin dan panci kecil. Ia masak air. Tak lama, aroma kopi menyusup ke hidung. Tak sia-sia bawa kompor..hehe.

Oya, sebelum berangkat ke Lebak Bulus, Sapnis bahkan membawa tenda. Katanya buat dipasang di Kuta! Tapi Uut berhasil merayunya meninggalkan benda segede gaban itu. “Kita mau ke Bali, Nis. Bali!” kata Uut. “Bukan ke Pangrango.”

Dari Nganjuk, kami naik bus tiga per empat ke Surabaya. Sempat makan pecel di sana sebelum melanjutkan ke Denpasar. Kali ini, kami memilih bus eksekutif ber-AC. Setelah berada di neraka berbentuk kotak bernama Dahlia Indah, kami ingin bersantai ria di bus eksekutif.

Kembali ke Bali. Kami ke Nusa Dua numpang sebuah truk yang mengangkut kasur. Saat itu cuaca tak bersahabat alias hujan. Kasur itu jadi tempat berteduh di atas truk. Kami selamat dari hujan, tapi kasurnya lepek, alhamdulillah.

Nusa Dua kurang berkesan. Saya sendiri tak yakin pantai yang saat itu kami kunjungi benar-benar Nusa Dua. Kami percaya itu pantai Nusa Dua karena sopir truknya mengatakan demikian. Pantainya sendiri, jika itu memang Nusa Dua, biasa aja..

Dari Nusa Dua, perjalanan berlanjut ke Pantai Sanur. Di sini, kami berkano ria sampai menjelang magrib. Tarifnya cuma Rp 5 ribu. “Sampai puas,” kata abangnya ketika itu. Ya iya, soalnya kami mulai menyewanya sekitar pukul 5 sore dan sebelum magrib kanonya harus dah dikembalikan!

Ada satu hal yang membuat kunjungan ke Sanur saat itu sangat berkesan. Selepas senja, sayup-sayup terdengar suara takbir. Ini suara langka di Bali. Butuh beberapa lama sebelum kami menyadari jika ternyata itu malam IDUL ADHA!

Tapi kisah ini tak melulu penuh kesialan. Setidaknya, kami pernah dibeliin ikan oleh tamu di sebelah kamar losmen. Lumayan untuk mengurangi kejenuhan makan nasi Padang setiap hari selama di Bali 🙂

Tanah Lot barangkali jadi satu-satunya tempat yang paling berkesan. Setidaknya, kami mendapat momen ketika matahari perlahan dilahap segara. Semua keletihan seolah luruh bersama menghilangnya cahaya senja terakhir hari itu…

Perjalanan pulang ke Jakarta, yang ternyata sangat dahsyat, sudah menanti. Keasyikan berlibur ternyata membuat kami mengabaikan isi dompet. Ini kebodohan kedua setelah pengabaian tujuan.

Saya lupa berapa persisnya duit yang tersisa ketika itu. Yang pasti, dari Denpasar kami ke Surabaya. Dari Surabaya lanjut ke Solo naik bus. Dari Solo naik bus lagi ke Yogyakarta. Pertanyanya, kenapa dari Surabaya ga langsung ke Jakarta? Jawabannya simpel: duitnya gak cukup.

Perjalanan dari Yogya menuju Jakarta ini jadi perjalanan paling dramatis: kami naik kereta menuju Bandung di sambungan lokomotif. Diguyur hujan hingga baju kering lagi. Saat tiba di Bandung, wajah kami coreng-moreng akibat asap kereta!

Di stasiun Bandung, duit yang terkumpul tinggal Rp 5 ribu. Seribu buat beli Rokok dan Roti. Rokok dihisap bersama dan roti dibagi empat. Menyedihkan. Tapi terselip kisah konyol di sini. Baru beberapa ratus meter meninggalkan stasiun, beberapa kembang menggoda kami.

“Kuliah ya, Mas?” kata salah satu diantara mereka.
Uut menjawab cepat, “Iya, Mba.”
“Kuliah sama saya saja,” kata Si Mbak sambil mengerling.
“Dapat beasiswa gak, Mbak?”

Sapnis langsung menggaet tangan Uut. Kami pun bergegas meninggalkan tempat itu, berjalan kaki menuju Terminal Leuwi Panjang. Sepanjang perjalanan, tak seorang pun bicara. Kami berjalan sendiri-sendiri. Dengan ransel di pundak, langkah kami mirip para prajurit kalah perang di film Tour of Duty.

Seperti di film, dalam sekuel di terminal Leuwi Panjang ini pun kami punya pahlawan. Yaitu Gaust. Dia menelpon ke rumahnya, meminta kiriman uang. Alhamdulillah, uang dikirim. Lha, kenapa gak dari Surabaya minta kiriman duit? Kami adalah remaja dengan segunung ego, tak akan meminta kecuali satu hal: kepepet 🙂

Well, setelah ke ATM, tujuan pertama kami adalah warung nasi! Hampir semalaman perut ini tak diisi. Bibir yang mulai membiru perlahan kembali merekah setelah disiram teh manis hangat. Kami kembali tersenyum, berbincang lagi setelah saling berdiam sepanjang jalan dari stasiun menuju terminal. Menjelang subuh, barulah bus kami meluncur ke Kampung Rambutan.

Perjalanan yang begitu melelahkan. Saya akan mengingatnya sebagai liburan paling gak waras. Tapi, dari ketidaknyamanan, dari kisah-kisah pahit itulah persahabatan tumbuh subur, hingga kini.

_DW_

No comments yet

Leave a comment